Oleh Peran Antoni*
KEDATANGAN (transmigrasi) masyarakat dari Pulau Jawa ke Provinsi Lampung--termasuk Pringsewu--sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Kala itu Pemerintah Kolonial mendatangkan penduduk dari Pulau Jawa untuk menjadi buruh perkebunan yang ada di Lampung. Itu yang kita kenal dengan proyek kolonisasi hampir di seluruh wilayah Lampung sekitar tahun 1930-an.
Gelombang besar transmigran ke Lampung juga terjadi setelah Indonesia merdeka di luar program transmigrasi resmi pemerintah. Meskipun Lampung menjadi wilayah percontohan untuk program transmigrasi yang dinilai berhasil, diakui atau tidak "proyek" transmigrasi ini masih menyisakan masalah.
Dalam tulisan ini saya hendak membicarakan keberadaan masyarakat adat Lampung di Pringsewu, yang sepertinya luput dari perhatian pemerintah untuk mengatakan termarginalkan.
Hilangnya Tanah Pertanian
Hilangnya tanah untuk lahan pertanian untuk masyarakat adat Lampung dimulai dengan kehancuran tatanan hukum tentang pertanahan yang dimiliki masyarakat adat Lampung. Kondisi ini menyebabkan hilangnya keterjaminan penguasaan tanah di masa depan untuk masyarakat adat Lampung.
Ketika Belanda berhasil memenangkan perlawanan masyarakat Lampung dari kesatuan marga-marga yang ada di Lampung--seperti Raden Inten II yang memimpin perlawanan marga-marga di Lampung Selatan--Belanda secara de facto menguasai Lampung. Otomatis semua produk hukum yang berlaku adalah hukum produk kolonial yang dibuat untuk kepentingan kolonial dan hukum adat Lampung sudah tidak berlaku.
Demikian pula dengan hukum pertanahan yang diatur pemerintahan marga. Hukum pertanahan ini adalah untuk menjamin hak perlindungan untuk masyarakat adat Lampung untuk menguasai tanah yang jelas dengan batas- batas marga jelas dan untuk keberlangsungan kepemilikan di masa yang akan datang. Pergantian pemerintahan dari pemerintahan Belanda ke Indonesia setelah merdeka pun tetap sama ibarat pinang dibelah dua karena tak mempertimbangkan masyarakat adat di masa yang akan datang.
Khusus di Kabupaten Pringsewu, kondisi ini semakin parah mengingat dari segi jumlah masyarakat adat Lampung sangat minoritas. Tanah adalah alat produksi orisinal masyarakat Lampung, yaitu untuk bertani dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kini semua sudah tidak ada lagi.
Masyarakat adat Lampung di Kabupaten Pringsewu terpaksa dengan ketulusan dan keiklasan harus menerima kondisi ini dengan lapang dada dan berbesar hati.
Dalam pandangan saya, masalah akan dapat terselesaikan jika pemerintah melaksanakan Reforma Agraria dengan memberikan tanah khusus untuk masyarakat adat (miskin) Lampung yang ada di wilayah Kabupaten Pringsewu.
Melestarikan Budaya Leluhur?
Pemerintah Provinsi Lampung dan masyarakat adat Lampung adalah yang paling bertanggung jawab dalam melestarikan dan menjaga warisan budaya leluhur, yaitu budaya Lampung. Begitu juga pemerintah Kabupaten Pringsewu. Tapi, hampir sama sekali tidak terlihat kebijakan ke arah itu. Tak ada rumah adat atau sessat di Kabupaten Pringsewu, baik yang dimiliki pemerintah kabupaten maupun oleh masyarakat adat Lampung. Apa boleh buat, perkembangan budaya Lampung sangat fakir dan miskin di Pringsewu.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera memfasilitasi dengan membangun rumah adat Lampung sebagai pusat sarana dan kegiatan dalam pengembangan dan pelestarian budaya Lampung. Dengan melihat keadaan ekonomi masyarakat adat Lampung di Pringsewu saat ini, sulit untuk membangun sessat sendiri. Rumah adat Lampung atau sessat merupakan simbol adanya masyarakat adat Lampung di Kabupaten Pringsewu.
Kebijakan Khusus
Untuk siapa saja begitu aman, tenteram, dan nyamannya tinggal di Kabupaten Pringsewu karena masyarakat adat tak pernah mengganggu dalam segala bidang. Menghargai dan menghormati masyarakat adat (baca: asli?) Lampung adalah pantas sekali dan juga sangat Pancasila sekali.
Pemerintah harus memberikan kebijakan khusus sebagai wujud penghargaan, yaitu kebijakan khusus dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya dari Pemerintah Kabupaten Pringsewu dan "pendatang" untuk masyarakat adat Lampung di Pringsewu. Kira-kira begitu.
Pertimbangannya, keadaaan masyarakat adat Lampung yang minoritas di Kabupaten Pringsewu dan parahnya mereka ini kebanyakan miskin. Pemudanya kebanyakan adalah pengangguran. Kepemilikan di pusat-pusat ekonomi di kota Kabupaten Pringsewu nyaris tidak ada. Apalagi dengan pembangunan ekonomi pemerintah sekarang yang sangat kapitalis neoliberal sehingga menyebabkan mereka sulit bersaing. Kehadiran orang (masyarakat) adat Lampung menjadi pegawai negeri pun di pemerintahan kabupaten juga sangat sedikit.
Jadi, sangat masuk akal dan nalar dan dapat dirasa di hati bila harus ada suatu kebijakan khusus. Ada ketimpangan yang terlampau lebar tentu sangat tidak baik. Kebijakan khusus ini juga untuk meredam, menghilangkan dan mengubur semua akar dan sebab terjadinya konflik.
Semoga kebijakan khusus dapat dilahirkan pemerintah kabupaten. Misalnya, memberikan subsidi dan fasilitas untuk perbaikan pendidikan, ekonomi dan budaya asli Lampung, melaksanakan reforma agraria untuk masyarakat atau petani miskin Lampung. Yang lebih penting, kebijakan khusus ini harus didukung pula oleh pemerintah provinsi dan pusat, untuk dapat mengangkat derajat dan martabat masyarakat adat Lampung secara keseluruhan di Kabupaten Pringsewu. n
* Peran Antoni, Mahasiswa DCC Lampung, aktivis SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 November 2009
KEDATANGAN (transmigrasi) masyarakat dari Pulau Jawa ke Provinsi Lampung--termasuk Pringsewu--sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Kala itu Pemerintah Kolonial mendatangkan penduduk dari Pulau Jawa untuk menjadi buruh perkebunan yang ada di Lampung. Itu yang kita kenal dengan proyek kolonisasi hampir di seluruh wilayah Lampung sekitar tahun 1930-an.
Gelombang besar transmigran ke Lampung juga terjadi setelah Indonesia merdeka di luar program transmigrasi resmi pemerintah. Meskipun Lampung menjadi wilayah percontohan untuk program transmigrasi yang dinilai berhasil, diakui atau tidak "proyek" transmigrasi ini masih menyisakan masalah.
Dalam tulisan ini saya hendak membicarakan keberadaan masyarakat adat Lampung di Pringsewu, yang sepertinya luput dari perhatian pemerintah untuk mengatakan termarginalkan.
Hilangnya Tanah Pertanian
Hilangnya tanah untuk lahan pertanian untuk masyarakat adat Lampung dimulai dengan kehancuran tatanan hukum tentang pertanahan yang dimiliki masyarakat adat Lampung. Kondisi ini menyebabkan hilangnya keterjaminan penguasaan tanah di masa depan untuk masyarakat adat Lampung.
Ketika Belanda berhasil memenangkan perlawanan masyarakat Lampung dari kesatuan marga-marga yang ada di Lampung--seperti Raden Inten II yang memimpin perlawanan marga-marga di Lampung Selatan--Belanda secara de facto menguasai Lampung. Otomatis semua produk hukum yang berlaku adalah hukum produk kolonial yang dibuat untuk kepentingan kolonial dan hukum adat Lampung sudah tidak berlaku.
Demikian pula dengan hukum pertanahan yang diatur pemerintahan marga. Hukum pertanahan ini adalah untuk menjamin hak perlindungan untuk masyarakat adat Lampung untuk menguasai tanah yang jelas dengan batas- batas marga jelas dan untuk keberlangsungan kepemilikan di masa yang akan datang. Pergantian pemerintahan dari pemerintahan Belanda ke Indonesia setelah merdeka pun tetap sama ibarat pinang dibelah dua karena tak mempertimbangkan masyarakat adat di masa yang akan datang.
Khusus di Kabupaten Pringsewu, kondisi ini semakin parah mengingat dari segi jumlah masyarakat adat Lampung sangat minoritas. Tanah adalah alat produksi orisinal masyarakat Lampung, yaitu untuk bertani dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kini semua sudah tidak ada lagi.
Masyarakat adat Lampung di Kabupaten Pringsewu terpaksa dengan ketulusan dan keiklasan harus menerima kondisi ini dengan lapang dada dan berbesar hati.
Dalam pandangan saya, masalah akan dapat terselesaikan jika pemerintah melaksanakan Reforma Agraria dengan memberikan tanah khusus untuk masyarakat adat (miskin) Lampung yang ada di wilayah Kabupaten Pringsewu.
Melestarikan Budaya Leluhur?
Pemerintah Provinsi Lampung dan masyarakat adat Lampung adalah yang paling bertanggung jawab dalam melestarikan dan menjaga warisan budaya leluhur, yaitu budaya Lampung. Begitu juga pemerintah Kabupaten Pringsewu. Tapi, hampir sama sekali tidak terlihat kebijakan ke arah itu. Tak ada rumah adat atau sessat di Kabupaten Pringsewu, baik yang dimiliki pemerintah kabupaten maupun oleh masyarakat adat Lampung. Apa boleh buat, perkembangan budaya Lampung sangat fakir dan miskin di Pringsewu.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera memfasilitasi dengan membangun rumah adat Lampung sebagai pusat sarana dan kegiatan dalam pengembangan dan pelestarian budaya Lampung. Dengan melihat keadaan ekonomi masyarakat adat Lampung di Pringsewu saat ini, sulit untuk membangun sessat sendiri. Rumah adat Lampung atau sessat merupakan simbol adanya masyarakat adat Lampung di Kabupaten Pringsewu.
Kebijakan Khusus
Untuk siapa saja begitu aman, tenteram, dan nyamannya tinggal di Kabupaten Pringsewu karena masyarakat adat tak pernah mengganggu dalam segala bidang. Menghargai dan menghormati masyarakat adat (baca: asli?) Lampung adalah pantas sekali dan juga sangat Pancasila sekali.
Pemerintah harus memberikan kebijakan khusus sebagai wujud penghargaan, yaitu kebijakan khusus dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya dari Pemerintah Kabupaten Pringsewu dan "pendatang" untuk masyarakat adat Lampung di Pringsewu. Kira-kira begitu.
Pertimbangannya, keadaaan masyarakat adat Lampung yang minoritas di Kabupaten Pringsewu dan parahnya mereka ini kebanyakan miskin. Pemudanya kebanyakan adalah pengangguran. Kepemilikan di pusat-pusat ekonomi di kota Kabupaten Pringsewu nyaris tidak ada. Apalagi dengan pembangunan ekonomi pemerintah sekarang yang sangat kapitalis neoliberal sehingga menyebabkan mereka sulit bersaing. Kehadiran orang (masyarakat) adat Lampung menjadi pegawai negeri pun di pemerintahan kabupaten juga sangat sedikit.
Jadi, sangat masuk akal dan nalar dan dapat dirasa di hati bila harus ada suatu kebijakan khusus. Ada ketimpangan yang terlampau lebar tentu sangat tidak baik. Kebijakan khusus ini juga untuk meredam, menghilangkan dan mengubur semua akar dan sebab terjadinya konflik.
Semoga kebijakan khusus dapat dilahirkan pemerintah kabupaten. Misalnya, memberikan subsidi dan fasilitas untuk perbaikan pendidikan, ekonomi dan budaya asli Lampung, melaksanakan reforma agraria untuk masyarakat atau petani miskin Lampung. Yang lebih penting, kebijakan khusus ini harus didukung pula oleh pemerintah provinsi dan pusat, untuk dapat mengangkat derajat dan martabat masyarakat adat Lampung secara keseluruhan di Kabupaten Pringsewu. n
* Peran Antoni, Mahasiswa DCC Lampung, aktivis SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 November 2009
No comments:
Post a Comment